Assalamu'alaikum...

harap dibaca....

Selamat datang di Blog saya.

Foto saya
Purwokerto, Jawa Timur, Indonesia

Senin, 02 Juni 2008

Bahan Bakar Alternatif..._//??

Harga minyak dunia yang melambung, sudah lama diprediksi. Logikanya, minyak bumi (fossil fuel) adalah bahan bakar yang tak dapat diperbarui. Cepat atau lambat, minyak dunia akan habis. Saat ini, harga minyak memang sedang booming karena kebutuhan negara-negara industri baru seperti India dan Cina sangat tinggi.

Ke depan, jika negara-negara di dunia tak segera mengantisipasi kelangkaan fossil fuel, harga minyak akan naik tinggi sekali. Tapi sebaliknya, jika negara-negara di dunia menyiapkan antisipasinya sejak sekarang, niscaya harga minyak tak akan naik lagi, bahkan bisa turun. Mengapa? Karena dunia nantinya bisa mencari pengganti minyak fosil yang aman, murah, dan mudah diproduksi oleh siapa pun. Saat ini, industri minyak hanya dipegang oleh para pemodal besar.

Biofuel dari Sukabumi
Majalah Trubus edisi November 2007 memaparkan ‘kebun-kebun penghasil bensin di Pulau Jawa’. Di wilayah Sukabumi, misalnya, ternyata sudah muncul industri rumahan biofuel yang sederhana. Pak Soekani dari kampung Nyangkowek, Kecamatan Cicurug, Sukabumi, salah seorang warga yang memproduksi ‘bensin’ itu. Tiap bulan dia berhasil mengolah singkong menjadi etanol (alkohol) 95 persen sebanyak 2.100 liter.


Dari jumlah itu, 300 liter dijual ke pengecer premium, dan 800 liter lainnya dijual ke industri kimia. Harga per liter etanol itu, Rp 10 ribu. Tiap liter etanol dibuat dari 6,5 kg singkong. Harga produksi etanol per liter Rp 3.400-Rp 4.000. Dari bisnis ‘energi’ yang berasal dari singkong itu, Pak Soekani mendapatkan omzet 21 juta per bulan. Langkah Pak Soekani itu, kini mulai banyak diikuti penduduk desa lainnya.

Mungkin anda bertanya, mengapa pengecer premium mau membeli etanol made in Pak Soekani seharga Rp 10 ribu per liter? Ternyata, pasar itu tercipta dari pengalaman tukang ojek di Cicurug. Premium yang dicampur 5-10 persen alkohol, angka oktannya naik. Kendaraan makin bertenaga dan bahan bakarnya makin hemat 20-30 persen. Belakangan, di Sukabumi juga sudah ada orang yang membuat kompor berbahan bakar alkohol. Kompor jenis ini, konon, lebih irit.

Kisah Pak Soekani menggambarkan bahwa bisnis biofuel tidak seperi fossil fuel (dalam hal ini BBM), bisa dilakukan siapa saja, bahkan dengan skala rumahan dan kaki lima. Karena itu, ke depan, jika pemerintah dan masyarakat ramai-ramai mengembangkan biofuel, niscaya kesejahteraan di Indonesia akan makin merata. Tak hanya itu, lahan-lahan kosong pun akan menghijau.

Memang ada kekhawatiran bahwa kebun-kebun biofuel itu akan merusak lingkungan dan keanekaragaman jenis di Indonesia. Namun jika sejak awal pemerintah membuat peta pengembangan industri biofuel secara nasional, niscaya kekhawatiran tersebut bisa direduksi. Ini karena pada peta tersebut akan ditunjukkan daerah-daerah yang pas untuk mengembangkan biofuel jenis tertentu.

Peluang bisnis biofuel di dunia sangat besar. Berdasarkan laporan Clean Edge seperti dikutip buku The Clean Tech Revolution (2007) karya Ron Pernick dan Clint Wilder, pasar biofuel di dunia tahun 2006 mencapai 20,5 miliar dolar AS (untuk etanol dan biodisel). Nilai pasar itu akan meningkat empat kali lipat pada tahun 2016. Di AS, etanol dicampur dengan gasoline (premium) dengan kadar campuran 2-85 persen. Di Brazil, sudah diproduksi mesin-mesin yang bisa memakai etanol seluruhnya (100 persen). Namun demikian, kondisi pasar etanol di Brazil sangat fleksibel. Jika harga BBM tinggi sekali, maka campuran etanol pada premium diperbesar, dan sebaliknya.

Tahun 2006, produksi etanol di dunia mencapai 12 miliar galon. Di AS, campuran premium dan 10 persen etanol (E-10) dipakai mobil-mobil tanpa modifikasi mesin. Sedangkan untuk campuran 85 persen etanol (E-85), mesinnya dimodifikasi dengan flex-fuel vehicle (FFVs). Jika produksi etanol di dunia makin besar dan kendaraan di dunia sudah pro-biofuel, niscaya semua kendaraan di muka bumi akan memakainya. Jika sudah demikian, ‘emas hitam’ yang berasal dari kilang-kilang minyak di Timur Tengah akan bergeser ke ‘emas hijau’ yang berasal dari kebun-kebun minyak di daerah tropis seperti Asia dan Amerika Latin.

Pemerataan ekonomi
Setiap ada ancaman, pasti ada peluang. Harga minyak yang mahal jangan hanya dilihat sebagai ancaman, melainkan juga peluang. Peluang ini bisa menyadarkan seluruh komponen masyarakat Indonesia bahwa ketergantungan pada BBM adalah sangat berbahaya dan kita punya kesempatan besar untuk mengkonversi BBM ke biofuel. Tanah Indonesia yang subur merupakan aset untuk membangun kemandirian sumber energi terbarukan. AS dan Eropa juga Jepang dan Cina saat ini tengah bahu membahu mengganti ketergantungan pada bahan bakar fosil.

Pemerintah Indonesia juga sudah seharusnya berpikir jauh ke sana dan langsung mengimplementasikannya ke dalam sistem kerja yang terencana dan terpadu untuk menyongsong kemandirian energi ramah lingkungan ini. AS, misalnya, sudah mulai melaksanakan program untuk menyongsong program tahun 2017, di mana 20 persen bahan bakarnya berasal dari tanaman. Ini artinya, setiap hari di tahun 2017, AS akan membutuhkan lebih dari 8 juta barel biofue. Program ini jelas sangat raksasa dan AS sudah bertekad melaksanakannya.

Nah, bagaimana Indonesia? Pak Soekani di kampung Nyangkowek, Cicurug sudah memulainya. Hanya dengan singkong, Pak Soekani bisa memproduksi ‘bensin’ masa depan. Padahal singkong adalah tanaman yang amat akrab dengan masyarakat Indonesia. Singkong bisa ditanam di mana saja. Di kampung-kampung, singkong bisa ditanam di samping, depan, dan belakang rumah. Daunnya bisa dijadikan sayuran yang amat bergizi, sedang umbinya adalah bahan untuk membuat etanol yang baik.

Bila ditanam secara serius, dalam satu hektare dapat dihasilkan 100 ton, bahkan 150 ton singkong. Luar biasa bukan? Di masa depan, anak singkong bukan lagi menjadi hinaan, sebaliknya akan jadi pujaan. Ini karena singkong, bukan sekadar makanan sehat yang antidiabet, tapi juga penyelamat krisis energi nasional di masa depan.
Powered By Blogger